![]() |
Sumber gambar: detik.com |
Oleh: Aru Elgete
Gusdurian Bekasi Raya
Pada
tahun 1987, Gus Dur diminta Presiden Soeharto untuk menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketika itu, Gus Dur sebenarnya keberatan karena
posisinya yang sedang menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU). Ia juga kesulitan untuk memilih fraksi. Namun, setelah dipanggil
Menteri Sekretaris Negara Sudharmono yang bisa memahami kesulitan Gus Dur,
putra KH Wahid Hasyim ini akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran Pak Harto.
Kala
itu, Gus Dur berasumsi, kalau ia menolak maka akan timbul bahaya yang besar
bagi NU. Yakni, akan muncul tuduhan bahwa NU menolak kepemimpinan Presiden
Soeharto. Prinsip yang Gus Dur pegang dalam berpolitik adalah kaidah mafasid
muqoddam ‘ala jalbil-masalih (menghindari kesukaran lebih didahulukan
daripada mengambil kemaslahatan). Orientasi utama politik Gus Dur tidak lain
adalah karena ingin mewujudkan kemaslahatan di tengah masyarakat dan dengan
sendirinya mencerminkan kecintaan pada kemanusiaan.
Untuk
mewujudkan kemaslahatan, Gus Dur meyakini bahwa ajaran Islam atau Syariat
diturunkan sebagai jalan untuk kesejahteraan masyarakat. Sebab, prinsip dasar
Islam tentang pengaturan kehidupan bernegara (siyasah ad-dunya)adalah
mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi manusia secara keseluruhan.
Dalam tradisi fiqih, kita mengenal istilah as-siyasah as-syar’iyyah.
Yakni, untuk mewujudkan kemaslahatan, penguasa (imam) bisa membuat suatu
kebijakan, meskipun kebijakan tersebut tidak ditetapkan secara eksplisit oleh
Al-Quran dan Hadits.
Dengan
begitu, Islam akan menampakkan wajah universalitas yang gandrung pada
penghormatan kepada seluruh manusia. Untuk menguatkan bahwa Islam memiliki
ajaran universal, yaitu bahwa agama samawi yang turun belakangan ini memiliki
lima jaminan dasar (al-kulliyat al-khamsah). Jaminan dasar itu meliputi
jaminan atas jiwa, keyakinan, hak milik atau harta, keluarga, dan profesi.
Kelima jaminan tersebut diberikan kepada warga masyarakat, baik perorangan
maupun kelompok.
Gus
Dur pernah menulis dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme
Peradaban Islam bahwa jaminan keselamatan fisik warga negara
mengharuskan adanya pemerintahan berdasar hukum, dengan perlakuan adil tanpa
terkecuali. Karena hanya dengan kepastian hukum, masyarakat akan mampu
mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antar sesame warga. Dengan alur
pemikiran politik yang seperti itu, Gus Dur menunjukkan betapa luhur dan mulia
ajaran Islam. Kemudian, pada saat yang bersamaan Islam menunjukkan wataknya
sebagai sumber nilai yang membebaskan.
Pemilihan
Umum (Pemilu) 2019 tentu menciptakan berbagai harapan baru. Janji-janji politik
berhamburan di tiap-tiap rumah warga; mulai dari kesejahteraan dalam hal
kesehatan, pendidikan, hingga kematian. Kebijakan-kebijakan baru akan segera
bermunculan, walau terkadang tidak berdasar pada kebijaksanaan. Kita tidak bisa
memungkiri bahwa saat ini, kehidupan politik di Indonesia hancur-lebur oleh
perilaku para pelaku politik itu sendiri.
Sesuatu
yang akan tersisa dari pesta demokrasi biasanya adalah kemunafikan. Sebab,
kemanusiaan bukanlah menjadi tujuan, melainkan kekuasaan menduduki jabatan
tertinggi yang menjadi fokus utama pencapaian. Semua berbondong mendirikan
partai politik, mencalonkan diri menjadi pemimpin, mengumbar janji-janji
kesejahteraan sosial, sementara perwujudannya entah kemana. Peristiwa semacam
itu, yang membuat warga masyarakat menjadi enggan dan bahkan menghukumi dirinya
haram (golput, red) untuk memilih pemimpin pada pemilukada serentak mendatang.
Mayarakat
mesti berhati-hati dalam memilih. Mengkaji dan melihat rekam jejak calon
pemimpin. Tidak silau dengan kegemilangannya di media massa. Kita, sebagai
pemilih juga mesti waspada pada wacana pemecah-belahan, adu-domba, dan
perselisihan yang mengakibatkan putusnya jalinan silaturrahim. Karena menurut
saya, untuk mencapai tampuk kekuasaan yang dibutuhkan bukan soal gaya retoris
yang dipertontonkan di layar kaca, tetapi bukti kerja nyata yang telah
dilakukan sebelumnya.
“Politik
itu mencerdaskan,” demikian ucap Mr Sartono dalam buku MR SARTONO
Pejuang Demokrasi & Bapak Parlemen Indonesia.
Maka,
hal yang paling penting kita lakukan, menurut hemat saya, adalah dengan terus
melakukan pembacaan; baik terhadap teks maupun konteks. Sebab, kita mesti
bersedia payung sebelum turun hujan. Kita harus siap siaga menghadapi
pertarungan politik di tahun ini. Artinya, kita tidak perlu memilih pemimpin
yang orientasinya bukan kemanusiaan. Wajib hukumnya kita meninggalkan
orang-orang yang hendak mencapai kekuasaan dengan tidak mengedepankan rasa
kemanusiaan.
Sebab,
jika tujuan dari politik adalah kemanusiaan, maka terkutuklah orang-orang yang
dengan tujuan politiknya menghancurkan rasa kemanusiaan. Orientasi politik yang
seperti itu membuat Gus Dur bisa diterima semua golongan, dan menjadi guru
bangsa bagi semua agama dan masyarakat. Singkatnya, siapa saja yang mencintai
nilai-nilai kemanusiaan, ia akan dicintai oleh kemanusiaan itu sendiri.
Terakhir,
Prof Dr Mahfud MD punya kenangan dalam ingatannya mengenai Gus Dur dan gaya
kepemimpinan. Pertama, jadilah pemimpin yang punya karakter. Tegas, jelas,
bersih seperti matahari. Kedua, bersikap egaliter seperti rembulan; dan selalu
memberi nasihat (Misbah as-shudur) kepada orang-orang yang resah. Gus Dur kalau
memberi tahu orang dengan cara yang bijaksana. Tidak mendikte, tapi memberi
tahu dengan balutan cerita-cerita lucu.
“Lalu
yang ketiga, beliau ini banyak baca shalawat untuk membimbing dirinya dan untuk
mendapat sentuhan-sentuhan kerasulan dalam kepemimpinannya,” kata mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi asal Madura itu.
Kini,
sendi-sendi kemanusiaan sudah agak rapuh. Dengan tulisan ini, semoga kita
tercerahkan bahwa ada Gus Dur yang sangat representatif untuk dijadikan contoh
bagi pemimpin kekinian. Kemudian, kita juga dapat lebih berhati-hati serta
waspada dalam memilih. Kita mesti mencari pemimpin yang dekat dan rekat
hubungannya dengan nilai-nilai kemanusiaan. Juga, wajib hukumnya meninggalkan
orang-orang yang menghancurkan kemanusiaan untuk mencapai kekuasaan. Gus Dur
sudah memulai, kita hanya tinggal melanjutkan.
Maka itu, marilah belajar politik dari Bapak Bangsa: Gus Dur.
Komentar
Posting Komentar